Permainan Tradisional Saat Menunggu Buka Puasa

Momonyetan dan Salam Sabrang Sudah Punah


Sejumlah permainan tradisional yang dulu dimainkan warga dalam mengisi waktu puasa akan dimainkan kembali oleh Komunitas Hong Bandung. Permainan tradisional tersebut yang berkaitan dengan kain sarung, di antaranya babalonan sarung, paparahuan, momonyetan, peupeusingan, hahayaman, salam sabrang tete mute, dan sebagainya.

"Kami akan mengangkat kembali permainan tersebut dalam waktu dekat ini selama bulan Ramadan, dan akan digelar di pakalangan Hong, Jln. Bukit Dago Utara Bandung. Kemungkinan akan digelar pada minggu kedua atau ketiga bulan Ramadan," ujar Pemimpin Komunitas Hong yang juga praktisi permainan tradisional, Moch. Zaeni Alif yang ditemui di kediamannya, Jln. Bukit Dago Utara Bandung, Rabu (25/7).

Dikatakannya, dari 260 permainan tradisional yang ada di Jabar, sekitar 20 jenis permainan yang berkaitan dengan bulan Puasa. "Kami hanya ingin memperkenalkan kembali kepada anak-anak, syukur-syukur bisa diangkat dan dikembangkan kepada masyarakat," tambahnya.

Menurut Zaini, dulu permainan tradisional dimainkan anak-anak menjelang waktu buka puasa sekitar pukul tiga hingga pukul lima sore atau disebut dengan ngabuburit. "Permainan akan berhenti apabila terdengar azan magrib dari masjid yang ada di setiap kampung," ujarnya.

Selain permainan menjelang buka puasa, lanjut Zaeni, akan ditampilkan pula permainan menunggu waktu siang atau ngabeubeurang, yakni permainan congklak, ngadu kaleci, ngadu gambar, dan sebagainya. Umumnya, permainan yang dimainkan tidak menghabiskan energi yang bisa berdampak pada fisik si anak.

"Permainan yang diangkat diupayakan tidak berkaitan dengan adu fisik atau menggerakkan anggota tubuh yang bisa membatalkan puasa," katanya.

Menurut Zaeni, makna yang akan didapat dari permainan ini, selain menumbuhkan kebahagiaan anak-anak saat menyambut waktu buka puasa, juga menjalin kerja sama di antara anak-anak. Selain itu, lanjutnya, untuk menumbuhkan kedewasaan dan kejujuran serta tenggang rasa pada anak.

Namun ada beberapa permainan tradisional pada bulan Puasa, kata Zaeni yang tidak bisa diangkat kembali karena dianggap mengganggu ketenteraman masyarakat, permainan itu disebut bebeledugan atau lodong. Permainan ini, ungkap Zaeni dimainkan masyarakat saat menjelang bulan Puasa hingga menjelang Idulfitri.

"Biasanya dimainkan dari atas bukit (pasir, red) yang suaranya ditembakkan ke bukit lainnya. Namun belakangan ini, permainan bebeledugan dilarang oleh aparat kepolisian," ujarnya.

Dikatakannya, permainan bebeledugan awalnya dari kebiasaan masyarakat yang menghabiskan waktu menunggu buka puasa sambil meuyeum atau meram pisang mentah oleh asap karbit di dalam tanah, untuk menghadapi Idulfitri. Caranya, kata dia, jerami padi dibakar dengan karbit dan asapnya dimasukkan ke dalam lubang yang sudah diisi pisang mentah, kemudian ditutup dengan tanah.

"Proses meuyeum atau meram pisang ini bisa berlangsung tiga hingga empat hari. Selama itu pula, masyarakat memanfaatkan karbit yang tidak dipakai digunakan sebagai bahan untuk permainan bebeledugan atau lodong. Caranya, karbit ditambah dimasukkan ke dalam sebilah bambu yang dibuat persis meriam dan bagian atasnya sudah dilubangi. Mulut bambu dan lubang di bagian atas ditutup rapat beberapa saat, dan dibuka saat akan dinyalakan dengan api. Suaranya sangat keras, ngabeledug mirip meriam sundut, sehingga dinamakan bebeledugan," paparnya.

Sumber : Galamedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar