Menyusuri jejak islam di "kampung arab" Pekojan Jakarta

Menyusuri jejak islam di "kampung arab" Pekojan Jakarta

 
Sejarah perkembangan islam di batavia tak lepas dari tempat yang sekarang dikenal dengan nama Pekojan, wilayah yang terletak di kecamatan Tambora Jakata Barat ini sekarang adalah daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Terlepas dari itu daerah ini memiliki peniggalan sejarah yang sangat berharga berupa masjid-masjid kuno yang sampai sekarang masih berdiri kokoh di tengah kepadatan penduduk Tambora.


Pekojan merupakan salah satu tempat bersejarah di Jakarta. Nama Pekojan menurut Van den Berg berasal dari kata Khoja, istilah yang masa itu digunakan untuk menyebut penduduk keturunan India. 
Daerah Pekojan pada era kolonial Belanda kemudian dikenal sebagai kampung Arab. Pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-18 menetapkan Pekojan sebagai kampung Arab. Kala itu, para imigran yang datang dari Hadramaut (Yaman Selatan) ini diwajibkan lebih dulu tinggal di sini. Baru dari Pekojan mereka menyebar ke berbagai kota dan daerah. Di Pekojan, Belanda pernah mengenakan sistem passen stelsel dan wijken stelsel. Bukan saja menempatkan mereka dalam pemukiman khusus, tapi juga mengharuskan mereka memiliki pas atau surat jalan bila bepergian ke luar wilayah. Sistem macam ini juga terjadi di Kampung Ampel, Surabaya, dan sejumlah perkampungan Arab lainnya di Nusantara. Kampung Pekojan merupakan cikal bakal dari sejumlah perkampungan Arab yang kemudian berkembang di Batavia. Dari tempat inilah mereka kemudian menyebar ke Krukut dan Sawah Besar (Jakarta Barat); Jati petamburan, Tanah Abang, dan Kwitang (Jakarta Pusat); Jatinegara dan Cawang (Jakarta Timur).
Saat ini, mayoritas penghuni Pekojan adalah keturunan Tionghoa.

Jamiatul Kheir



Di Pekojan, pada awal abad ke-20 (1901), berdiri organisasi pendidikan Islam, Jamiatul Kheir, yang dibangun dua bersaudara Shahab, Ali dan Idrus, di samping Muhammad Al-Mashur dan Syekh Basandid. Menurut buku Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI, perkumpulan ini menghasilkan tokoh KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan HOS Tjokroaminoto (pendiri SI). Jamiatul Kheir mendatangkan Syeikh Ahmad Surkati dari Sudan yang kemudian mendirikan Perguruan Islam Al-Irsyad.


masjid yang berada di lokasi hunian padat penduduk tepatnya dekat Muara Angke ini dibangun sejak tahun 1214 H (1829) oleh pedagang berkebangsaan dari Yaman. Saat itu mereka memang tidak hanya melakukan aktivitas dagang semata, tapi juga sambil melakukan syiar Islam, masjid yang memiliki 2 lantai ini kondisinya sekarang masih terjaga dan masih berfungsi untuk melakukan ibadah di lantai 2 sementara di lantai bawah digunakan untuk berwudhu dan sebagai tempat tinggal dan tempat usaha minyak wangi yang juga sudah berlangsung sejak pemerintahan kolonial Belanda.
Arsitektur dari masjid ini merupakan perpaduan dari berbagai unsurl seperti Pengaruh Cina bisa dilihat dari beberapa ukiran di dinding masjid dan warna kayu yang aslinya berwarna merah seperti warna kelenteng. Pengaruh Portugis terlihat dari pilar-pilar penopang dan pengaruh Arab dari pintu yang berbentuk elips.
Dahulu para jamaah untuk masuk ke masjid ini bisa menggunakan perahu melalui sungai yang berada di samping masjid namun sekarang tidak memungkinkan karena kondisi sungai yang sudah kotor.


Di dekat Langgar Tinggi terdapat sebuah jembatan kecil yang dinamai Jembatan Kambing. Dinamakan demikian, karena sebelum dibawa untuk disembelih di pejagalan (sekarang bernama Jalan Pejagalan), kambing harus melewati jembatan yang melintasi Kali Angke ini terlebih dahulu. Para pedagang di sini telah berdagang secara turun-temurun selama hampir 200 tahun.

Masjid An-Nawier


Tak jauh dari masjid langgar tinggi terdapat banguna bersejarah pula yaitu masjid An-Nawier, yang merupakan tempat ibadah yang terbesar di Pekojan. Diperkirakan 2000 jemaah bisa ditampung di masjid ini, Masjid yang pada tahun 1920 diperluas oleh Habib Abdullah bin Husein Alaydrus, seorang kaya raya yang namanya diabadikan menjadi Jalan Alaydrus, di sebelah kanan Jalan Gajahmada. Pendiri Masjid ini adalah Habib Utsman bin Abdullah bin Yahya.

Arsitektur masjid ini lebih dominan ke unsur eropa terlihat dari 33 pilar yang terdapat pada bagian dalam masjid yang bergaya romawi, terdapat pula menara setinggi 17 meter yang melambangkan jumlah rakaat shalat dalam islam. Dahulu digunakan oleh muadzin mengumandangkan adzan sebagai tanda waktu shalat, sekarang menara ini tidak lagi dgunakan.

Di sekitar masjid pun ada beberapa makam-makam tua para ulama besar Kampung Pekojan. Konon Masjid Jami Pekojan ini dahulunya menjadi induk dari masjid-masjid sekitar Batavia.

Masjid An Nawier Pekojan berada di Jalan Masjid Pekojan Gg. II, Kelurahan Pekojan, sebelah barat Stasiun KA Kota. Agak sulit juga mencari lokasinya, karena di kiri dan kanan serta belakang masjid terjepit pemukiman penduduk sekitar Jalan Pengukiran.

Masjid Al-Anshor


Sebelum ditetapkan sebagai kampung Arab, Pekojan merupakan tempat tinggal warga Koja (Muslim India). Sampai kini, masih terdapat Gang Koja yang telah berganti nama jadi Jl Pengukiran II. Di sini terdapat sebuah masjid kuno Al-Anshsor yang dibangun pada 1648 oleh para Muslim India.

Keberadaannya yang terletak di dalam gang dan di tengah-tengah kepadatan penduduk Pekojan masih terawat dengan baik, walaupun bangunan ini sudah mengalami renovasi dengan peninggian bangunan akibat banjir, di dalam masjid ini masih terdapat sumur tua yang dahulu digunakan sebagai tempat mengaMbil wudhu.

Banyak tokoh-tokoh besar yang berasal dan memiliki kaitan sejarah dengan kampung Pekojan. Di antaranya adalah Habib Utsman bin Abdullah bin Yahya yang pernah menjabat sebagai mufti di Betawi. Juga Habib Ali bin Abdul Rahman Al Habsyi, pendiri majlis taklim Kwitang yang sempat belajar pada Habib Utsman di Pekojan. Ada juga seorang ulama besar asli kelahiran Pekojan yang merupakan guru dari syaikh Nawawi Al Bantani. Beliau adalah syaikh Junaid Al Batawi yang sampai akhir hayatnya menjadi guru dan imam di Masjidil Haram. Syaikh Junaid Al Batawi juga diakui sebagai Syaikhul Masyayikh (Mahaguru) dari ulama-ulama madzhab Syafi'i mancanegara pada abad ke-18. beliau pulalah yang pertama kali memperkenalkan nama Betawi di luar Indonesia.

Masjid Ar-Raudhah


Tak jauh dari lokasi masjid Al-Anshor terdapat pula bangunan bersejarah lainnya yaitu masjid Ar-Raudhah, Masjid ini adalah peninggalan saudagar Yaman yang dahulu didirikan khusus untukjamaah wanita. Bahkan sampai sekarang pun masih mengutamakan jamaah wanita.

Masjid yang didirikan pada 28 Rajab 1304 H atau sekitar 129 tahun yang lalu ini didalamnya terdapat sumber mata air yang tidak pernah kering walaupun di musim kemarau, hingga kini sumber mata air itu masih memunculkan air. Arsitektur masjid ini bergaya campuran Belanda, Betawi dan Arab terlihat dari jendela dan pintu yang bergaya Belanda dan teralis besi yang bergaya betawi.

Sumber : Umum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar